PERTEMUAN 4, 5, 6, DAN 7
Kebenaran
Maksud dari hidup ini adalah
untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah
kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan
Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja
berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu
kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam
arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995)
Teori-Teori kebenaran
Untuk
menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar
kepada 5 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan
dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, teori pragmatis, teori
kebenaran performatif, dan teori kebenaran konsensus.
1. Teori
Korespondensi (Kebenaran Faktual)
Rumusan
teori korespondensi tentang kebenaran ini bermula dari Aritoteles (384-322
S.M.) dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut
:
“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI”
[kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan
kenyataan].
Kemudian teori
korespondensi ini dikembangkan
oleh Bertrand Russel (1872-1970). Ujian kebenaran yang
dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok
realisme dan materialisme. Teori ini berprinsip pada pemikiran Induksi, yaitu
pengambilan kesimpulan dari Umum ke Khusus. Kebebaran diperoleh setelah
diadakan pengamatan dan pembuktian (Observasi dan Verifikasi).
Menurut
teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to
objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang
fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi
yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai
hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang
sesuatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang
mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan
itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual,
yakni kota Yogyakarta memang benar-benar
berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta
berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak
terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara
faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau
Jawa”.
Menurut
teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu
tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu
pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka
pertimbangan itu salah (Jujun, 1990:237).
2. Teori
Koherensi (Kebenaran Rasio)
Berdasarkan
teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar
(Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu
bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya,
yaitu yang koheren menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia
pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si
Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Seorang
sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia
mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu ideal yang tak dapat
dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya
dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana
pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul
dengan sendirinya dari pernyataan tanpa
berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa
2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan
yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Kelompok
idealis, seperti Plato (427-347 S.M.) juga filosof-filosof modern seperti
Hegel, F. H. Bradley (1864-1924) dan
Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka
tiap-tiap pertimbangan yang benar dan
tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan
keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus,
1987:239). Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada
konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu
situasi lingkungan tertentu.
3. Teori
Pragmatik
Teori
selanjutnya adalah teori pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme berasal
dari bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan,
tindakan.
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce
(1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How
to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli
filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat
ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di
antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George
Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)
Pragmatisme
menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka
ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau akibat yang memuaskan (Titus,
1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar
dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan
pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi
hidup praktis (Hadiwijono, 1980:130) dalam kehidupan manusia.
Kriteria
pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah
dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang
dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah
seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan
mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu
tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang
menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan (Jujun,
1990:59), demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan
satu atau lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan
keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen,
(3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh
karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu
lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori
tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran
adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta
pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan
situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan
konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan
benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis (Titus,
1987:245).
4. Teori
Kebenaran Performatif
Teori
ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim
di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan
sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan
nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai
terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak
hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus
(1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang
difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan
oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam
fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.
Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,
pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat
membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib,
adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif
tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan
inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada
beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini
seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin
adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
5. Teori
Kebenaran Konsensus
Suatu
teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma
tersebut.
Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini
menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk
dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu
tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut.
Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar.
Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat
sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki
suatu paradigma bersama.
Masyarakat
sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai
konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa
menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota
kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan
keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa
melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai
keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
Pengujian
suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam
memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari
kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan
masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu
teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang
memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi
memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya
penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori.
1.
pengertian ontologis
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri
dari dua kata, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti
ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran
tentang keberadaan.
Namun pada dasarnya term ontologi pertama kali
diperkenalkan oleh Rudolf
Goclenius pada tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang
hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembanganya Cristian Wolff
membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus.
Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang
ada yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang
dicarinya ialah hakikat pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori
hakikat ialah teori tentang keadaan. Hakikat ialah realitas, realitas ialah
kerealan, real artinya kenyataan yang sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan
yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau
keadaan yang menipu, bukan keadaan yang meberubah.
Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata
secara fundamental dan cara yang berbeda dimana entitas (wujud) dari
kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisik, hal universal,
abstraksi) dapat dikatakan ada dalam rangka tradisional. ontologi dianggap
sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal
pemakaianya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang
ada.
Adapun mengenai objek material ontologi ialah
yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada
universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah
kematian maupun sumber segala yang ada. Objek formal ontologi adalah hakikat
seluruh realitas, bagi pendekatan kualitif, realitas tranpil dalam kuantitas
atau jumlah, telaahnya menjadi telaah monism, paralerisme atau plurarisme.
Fungsi dan manfaat mempelajari ontologi sebagai cabang
filsafat ilmu antara lain:
Pertama : berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek
atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat ilmu.
Di antara asumsi dasar keilmuan antara lain:
(1) dunia ini ada, dan kita
dapat mengetahui bahwa dunia ini benar-benar ada.
(2) dunia empiris itu dapat
diketahui oleh manusia dengan pancaindera.
(3) fenomena yang terdapat di di
dunia ini berhubungan satu dengan lainnya secara kausal.
Kedua: Ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu
pandangan dunia yang integral, komphrehensif dan koheren. Ilmu dengan ciri
khasnya mengkaji hal-hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada
akhirnya diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang objek telaahannya, namun
pada kenyataannya kadang hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan
yang parsial dan terpisah-pisah. Jika terjadi seperti itu, ilmuwan berarti
tidak mampu mengintegrasikan pengetahuan tersebut dengan pengetahuan lain.
Ketiga: Ontologi memberikan masukan informasi untuk
mengatasi permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.
Pembagian objek kajian ilmu yang satu dengan lainnya kadang menimbulkan
berbagai permasalahan, di antaranya ada kemungkinan terjadinya konflik
perebutan bidang kajian, misalnya ilmu bioetika itu masuk disiplin etika atau
disiplin biologi. Kemungkinan lain adalah justru terbukanya bidang kajian yang
sama sekali belum dikaji oleh ilmu apa pun. Dalam hal ini ontologi berfungsi
membantu memetakan batas-batas kajian ilmu. Dengan demikian berkembanglah
ilmu-ilmu yang dapat diketahui manusia itu dari tahun ke tahun atau dari abad
ke abad.
2.
Pengertian Epistemologi
Dalam belajar filsafat, kita akan menemui banyak cabang
kajian yang akan membawa kita pada fakta dan betapa kaya dan beragam kajian
filsafat itu. Sebenarnya yang terpenting adalah bagaimana kita semua
memahami apa saja yan menjadi kajan filsafat, cabang-cabang filsafat. Albuerey
Castel membagi masalah filsafat menjadi enam bagian yaitu, teologis,
metafisika, epistemologi, etika, plitik dan sejarah.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
benar atau tidaknya suatu pengetahuan. Sebagai sub sistem filsafat,
epistemologi mempunyai banyak sekali pemaknaan atau pengertian yang kadang
sulit untuk dipahami. Dalam memberikan pemaknaan terhadap epistemologi,
para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga memberikan pemaknaan
yang berbeda ketika mngungkapkannya.
Akan tetapi, untuk lebih mudah dalam memahami pengertian
epistemologi, maka perlu diketahui pengertian dasarnya terlebih dahulu.
Epistemologi berdasarkan akar katanya episteme(pengetahuan)
dan logos (ilmu yang sistematis, teori).
Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu
pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang
berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya
pengetahuan itu.
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi
daripada epistemologi adalah P. Hardono Hadi. Menurut beliau epistemologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope
pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban
atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi
adalah D.W Hamlyin, beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengandaian – pengandaian serta secara umum hal itu dapat diandalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Dagobert D. Runes. Seperti yang di tulis Mujamil Qomar,
beliau memaparkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas,
sumber, struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan. Sedangkan
menurut Azyumardi Azra, beliau menambahkan bahwa epistemologi sebagai
ilmu yang membahas keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu
pengetahuan. Walaupun dari kedua pemaparan di atas terdapat sedikit
perbedaan, namun keduanya memberikan pengertian yang sederhana dan relatif
mudah di pahami. Mudhlor ahmad merinci menadi enam aspek yaitu, hakikat, unsur,
macam, tumpuan, batas dan saran pengetahuan.
3.
Pengertian Aksiologi
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah
aksiologi berasal dari kata axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu
yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi artinya teori nilai,
penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.
Aksiologi sebagai cabang filsafat ialah ilmu pengetahuan
yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan
kefilsafatan.
Nilai Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena
mengandung kualitas-kualitas pengirisan didalam dirinya, sedangkan nilai
instrumentalnya ialah pisau yang baik adalah pisau yang dapat digunakan untuk
mengiris, jadi dapat menyimpulkan bahwa nilai Instrinsik ialah nilai yang yang
dikandung pisau itu sendiri atau sesuatu itu sendiri, sedangkan Nilai
Instrumental ialah Nilai sesuatu yang bermanfaat atau dapat dikatakan Niai
guna.
Aksiologi terdiri dari dua hal utama, yaitu:
Etika : bagian filsafat nilai dan penilaian yang
membicarakan perilaku orang. Semua prilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari
penilaian. Jadi, tidak benar suatu prilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih
tepat, prilaku adalah beretika baik atau beretika tidak baik.
Estetika : bagian filsafat tentang nilai dan penilaian
yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. Indah dan jelek adalah
pasangan dikhotomis, dalam arti bahwa yang dipermasalahkan secara esensial
adalah pengindraan atau persepsi yang menimbulkan rasa senang dan nyaman pada
suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lainnya.
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi ialah :
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi ialah :
1. Menjaga dan
memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki, maka
prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi
pada kepentingan langsung.
2. Dalam pemilihan
objek penelahaan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat
manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan
dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan
kepentingan politik.
3. Pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan
taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan,
kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.