Senin, 22 Mei 2017

Teori kebenaran, ontologis, epistemologi, dan aksiologi

PERTEMUAN 4, 5, 6, DAN 7
Kebenaran
            Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995)
Teori-Teori kebenaran
            Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 5 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, teori pragmatis, teori kebenaran performatif, dan teori kebenaran konsensus.
1.      Teori Korespondensi (Kebenaran Faktual)
            Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran ini bermula dari Aritoteles (384-322 S.M.) dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :
“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI”
[kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan].
Kemudian teori  korespondensi  ini dikembangkan oleh  Bertrand  Russel (1872-1970). Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realisme dan materialisme. Teori ini berprinsip pada pemikiran Induksi, yaitu pengambilan kesimpulan dari Umum ke Khusus. Kebebaran diperoleh setelah diadakan pengamatan dan pembuktian (Observasi dan Verifikasi).
            Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni  kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
            Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah (Jujun, 1990:237).
2.      Teori Koherensi (Kebenaran Rasio)
            Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
            Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu ideal yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya  dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
            Kelompok idealis, seperti Plato (427-347 S.M.) juga filosof-filosof modern seperti Hegel,  F. H. Bradley (1864-1924) dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar  dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus, 1987:239). Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
3.      Teori Pragmatik
            Teori selanjutnya adalah teori pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme berasal dari bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan.
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)
            Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat  yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis (Hadiwijono, 1980:130) dalam kehidupan manusia.
            Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan (Jujun, 1990:59), demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis (Titus, 1987:245).
4.      Teori Kebenaran Performatif
            Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
            Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
5.      Teori Kebenaran Konsensus
            Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut.
Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.
            Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
            Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori.
1.     pengertian ontologis
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.
Namun pada dasarnya term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf
Goclenius pada tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembanganya Cristian Wolff membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori tentang keadaan. Hakikat ialah realitas, realitas ialah kerealan, real artinya kenyataan yang sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang meberubah.
Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda dimana entitas (wujud)  dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisik, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada dalam rangka tradisional. ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaianya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Adapun mengenai objek material ontologi ialah yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas, bagi pendekatan kualitif, realitas tranpil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya menjadi telaah monism, paralerisme atau plurarisme.
Fungsi dan manfaat mempelajari ontologi sebagai cabang filsafat ilmu antara lain:
Pertama : berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat ilmu. Di antara asumsi dasar keilmuan antara lain:
(1)     dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini benar-benar ada.
(2)    dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia dengan pancaindera.
(3)    fenomena yang terdapat di di dunia ini berhubungan satu dengan lainnya secara kausal.
Kedua: Ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang integral, komphrehensif dan koheren. Ilmu dengan ciri khasnya mengkaji hal-hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang objek telaahannya, namun pada kenyataannya kadang hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan yang parsial dan terpisah-pisah. Jika terjadi seperti itu, ilmuwan berarti tidak mampu mengintegrasikan pengetahuan tersebut dengan pengetahuan lain.
Ketiga: Ontologi memberikan masukan informasi untuk mengatasi permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Pembagian objek kajian ilmu yang satu dengan lainnya kadang menimbulkan berbagai permasalahan, di antaranya ada kemungkinan terjadinya konflik perebutan bidang kajian, misalnya ilmu bioetika itu masuk disiplin etika atau disiplin biologi. Kemungkinan lain adalah justru terbukanya bidang kajian yang sama sekali belum dikaji oleh ilmu apa pun. Dalam hal ini ontologi berfungsi membantu memetakan batas-batas kajian ilmu. Dengan demikian berkembanglah ilmu-ilmu yang dapat diketahui manusia itu dari tahun ke tahun atau dari abad ke abad.
2.     Pengertian  Epistemologi
Dalam belajar filsafat, kita akan menemui banyak cabang kajian yang akan membawa kita pada fakta dan betapa kaya dan beragam kajian filsafat itu. Sebenarnya yang terpenting  adalah bagaimana kita semua memahami  apa saja yan menjadi kajan filsafat, cabang-cabang filsafat. Albuerey Castel membagi masalah filsafat menjadi enam bagian yaitu, teologis, metafisika, epistemologi, etika, plitik dan sejarah.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari benar atau tidaknya suatu pengetahuan. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak sekali pemaknaan atau pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam memberikan pemaknaan terhadap epistemologi, para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga memberikan pemaknaan yang berbeda ketika mngungkapkannya.
Akan tetapi, untuk lebih mudah dalam memahami pengertian epistemologi, maka perlu diketahui pengertian dasarnya terlebih dahulu. Epistemologi berdasarkan akar katanya episteme(pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori).
Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi daripada epistemologi adalah P. Hardono Hadi. Menurut beliau epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah D.W Hamlyin, beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat  dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian – pengandaian serta secara umum hal itu dapat  diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Dagobert D. Runes. Seperti yang di tulis Mujamil Qomar, beliau memaparkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas, sumber, struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan. Sedangkan menurut  Azyumardi Azra, beliau menambahkan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Walaupun dari kedua pemaparan di atas terdapat sedikit perbedaan, namun keduanya memberikan pengertian yang sederhana dan relatif mudah di pahami. Mudhlor ahmad merinci menadi enam aspek yaitu, hakikat, unsur, macam,  tumpuan, batas dan saran  pengetahuan.
3.     Pengertian Aksiologi
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.
Aksiologi sebagai cabang filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.
Nilai Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena mengandung kualitas-kualitas pengirisan didalam dirinya, sedangkan nilai instrumentalnya ialah pisau yang baik adalah pisau yang dapat digunakan untuk mengiris, jadi dapat menyimpulkan bahwa nilai Instrinsik ialah nilai yang yang dikandung pisau itu sendiri atau sesuatu itu sendiri, sedangkan Nilai Instrumental ialah Nilai sesuatu yang bermanfaat atau dapat dikatakan Niai guna.
Aksiologi terdiri dari dua hal utama, yaitu:
Etika : bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang. Semua prilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi, tidak benar suatu prilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepat, prilaku adalah beretika baik atau beretika tidak baik.
Estetika : bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. Indah dan jelek adalah pasangan dikhotomis, dalam arti bahwa yang dipermasalahkan secara esensial adalah pengindraan atau persepsi yang menimbulkan rasa senang dan nyaman pada suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lainnya.
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi ialah :
1.       Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki, maka prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung.
2.      Dalam pemilihan objek penelahaan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik.
3.      Pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar