BAB I
PENDAHULUAN
Geografi adalah bukan bidang ilmu tentang semua hal yang ada dalam
kehidupan manusia, walaupun ada yang berpendapat bahwa geografi adalah mothers
of science atau ilmu yang bersifat generalis. Sebuah kalimat yang sering
diungkapkan adalah bahwa “semua hal bisa di-geografi-kan sepanjang masih dapat
dianalisis secara spasial”. Kalimat ini sangat sederhana namun mempunyai
implikasi yang sangat luas terutama bagi para geograf yang kritis. Pertanyaan
kritis yang kemudian dapat dikemukakan adalah “apakah dapat dibuktikan bahwa
semua hal dapat dianalisis dalam perspektif spasial.
Geografi ,merupakan ilmu
yang bersifat integratif yang mempelajari gejala-gejala yang terjadi di muka
bumi (dalam dimensi fisik dan manusia) dengan menggunakan perspektif keruangan
(spatial perspective). Dalam
filsafat ilmu suatu pengetahuan yang sistematis disebut ilmu
pengetahuan apabila memiliki tiga aspek, yaitu aspek ontologis, aspek
epistemologis dan aspek aksiologis atau aspek fungsional. Hakikat
Geografi sebagai ilmu pengetahuan dapat ditelusuri melalui kaitan bagian
permukaan bumi dengan kehidupan manusia.
BAB II
TEORI DASAR
2.2 Pengertian Ontologi
Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum,
atau merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab
dari filsafat. Obyek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha
mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam
semua bentuknya. Setelah menjelajahi segala bidang utama dalam ilmu filsafat,
seperti filsafat manusia, alam dunia, pengetahuan, kehutanan, moral dan sosial,
kemudian disusunlah uraian ontologi. Maka ontologi sangat sulit dipahami jika
terlepas dari bagian-bagian dan bidang filsafat lainnya. Dan ontologi adalah
bidang filsafat yang paling sukar.10 Metafisika membicarakan segala sesuatu
yang dianggap ada, mempersoalkan hakekat. Hakekat ini tidak dapat dijangkau
oleh panca indera karena tak terbentuk, berupa, berwaktu dan bertempat. Dengan
mempelajari hakikat kita dapat memperoleh pengetahuan dan dapat menjawab
pertanyaan tentang apa hakekat ilmu itu. Ditinjau dari segi ontologi, ilmu
membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris. Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek
kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa hal-hal yang sudah berada diluar jangkauan manusia tidak
dibahas oleh ilmu karena tidak dapat dibuktikan secara metodologis dan empiris,
sedangkan ilmu itu mempunyai cirri tersendiri yakni berorientasi pada dunia
empiris.
Berdasarkan
objek yang ditelaah dalam ilmu pengetahuan dua macam:
1. Obyek material (obiectum
materiale, material object) ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu.
2. Obyek Formal (obiectum
formale, formal object) ialah penentuan titik pandang terhadap obyek material.
Untuk mengkaji lebih
mendalam hakekat obyek empiris, maka ilmu membuat beberapa asumsi (andaian)
mengenai objek itu. Asumsi yang sudah dianggap benar dan tidak diragukan lagi
adalah asumsi yang merupakan dasar dan titik tolak segala pandang
kegiatan. Asumsi itu perlu sebab
pernyataan asumtif itulah yang memberikan arah dan landasan bagi kegiatan
penelaahan.
Ada beberapa asumsi
mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu, yaitu: Pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan
antara yang satu dengan yang lainnya, misalnya dalam hal bentuk, struktur,
sifat dan sebagainya. Kedua, menganggap
bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, determinisme yakni menganggap segala gejala bukan merupakan
suatu kejadian yang bersifat kebetulan. 14Asumsi yang dibuat oleh ilmu
bertujuan agar mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis dan mampu
menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman
manusia.
2.1Pengetian Epistemologi
Terjadi perdebatan
filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang menduduki pusat
permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina
filsafat yang kukuh tentang semesta (universe) dan dunia. Maka sumber-sumber
pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia empiris menjadikannya ia
berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam. Setiap jenis pengetahuan mempunyai
ciri yang spesifik mengenai apa, bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara
rapi dalam ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi itu sendiri
selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Persoalan utama yang
dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana
cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek ontologi
dan aksiologi masing-masing ilmu.
Kajian epistemologi
membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan, hal-hal apakah
yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang
disebut kebenaran dan apa kriterianya.
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya,
jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu
hal. Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses
apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika,
bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan
keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan
kebaikan moral.
2.4 Pengertian Aksiologi
Sampailah pembahasan kita
kepada sebuah pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan berbagai
wajah kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu
merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita
bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai sumber energy bagi keselamatan
manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni
membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Jadi
yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu
digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana
penentuan obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan
metode ilmiah dengan kaidah moral?
1. Ilmu Bebas Nilai
Berbicara tentang ilmu
akan membicarakan pula tentang etika, karena sesungguhnya etika erat hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau tidaknya ilmu
merupakan masalah rumit, jawabannya bukan sekadar ya atau tidak.
Sebenarnya sejak saat
pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalahmasalah moral namun dalam
perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543 M) mengajukan teorinya
tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi
matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang diajarkan oleh agama (gereja) maka
timbullah reaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang
berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sedangkan
dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada
pernyataan-pernyataan nilai berasal dari agama sehingga timbullah konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik yang berakumulasi pada pengadilan inkuisisi
Galileo pada tahun 1633 M.
Vonis inkuisisi Galileo
memengaruhi perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan
pertentangan antara ilmu yang ingin bebas dari nilainilai di luar bidang
keilmuan dan ajaran-ajaran (agama). Pada kurun waktu itu para ilmuan berjuang
untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dengan semboyan “ilmu
yang bebas nilai”. Latar belakang otonomi ilmu bebas dari ajaran agama (gereja)
dan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang
bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsepkonsep ilmiah
kepada masalah-masalah praktis. Sehingga Berthand Russell menyebut perkembangan
ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.
Perlunya penyatuan
ideology tentang ketidak netralan ilmu ada beberapa alasan, namun yang penting
dicamkan adalah pesan Einstein pada masa akhir hayatnya “Mengapa ilmu yang
begitu indah, yang menghemat kerja, membikin hidup lebih mudah, hanya membawa
kebahagiaan yang sedikit sekali pada kita”. Adapun permasalahan dari
keluhan Einstein adalah pemahaman dari pemikiran Francis Bacon yang telah
berabad-abad telah mengekang dan mereduksi nilai kemanusiaan dengam ide
“pengetahuan adalah kekuasaan”. Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa,
ilmu yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi haruslah
berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai.
2. Teori tentang nilai
Pembahasan tentang nilai
akan dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai situasi, dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai.
Pemandangan yang indah, akhlak anak terhadap orang tuanya dengan sopan santun,
suasana lingkungan dengan menyenangkan dan kondisi badan dengan nilai sehat.
Ada perbedaan antara
pertimbangan nilai dengan pertimbangan fakta. Fakta berbentuk kenyataan, ia
dapat ditangkap dengan pancaindra, sedang nilai hanya dapat dihayati.
Walaupun para filosof
berbeda pandangan tentang defenisi nilai, namun pada umumnya menganggap bahwa
nilai adalah pertimbangan tentang penghargaan. Pertimbangan fakta dan
pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan, antara keduanya karena saling
memengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati juga termasuk dalam
penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita berubah ini berarti
pertimbangan nilai dipengaruhi oleh fakta.
Fakta itu sebenarnya
netral, tetapi manusialah yang memberikan nilai kedalamannya sehingga ia mengandung nilai. Karena nilai itu maka benda itu mempunyai
nilai. Namun bagaimanakah criteria benda atau fakta itu mempunyai nilai. Teori
tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika,
Etika termasuk cabang
filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan memandangnya dari sudut baik
dan buruk. Adapun cakupan dari nilai etika adalah: Adakah ukuran perbuatan yang
baik yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia, apakah dasar yang
dipakai untuk menentukan adanya norma-norma universal tersebut, apakah yang
dimaksud dengan pengertian baik dan buruk dalam perbuatan manusia, apakah yang
dimaksud dengan kewajiban dan apakah implikasi suatu perbuatan baik dan buruk.
Nilai etika diperuntukkan
pada manusia saja, selain manusia (binatang, benda, alam) tidak mengandung
nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum baik atau buruk, salah atau
benar. Contohnya dikatakania mencuri, mencuri itu nilai etikanya jahat. Dan orang
yang melakukan itu dihukum bersalah. Tetapi kalau kucing mengambil ikan dalam
lemari, tanpa izin tidak dihukum bersalah. Yang bersalah adalah kita yang tidak
hati-hati, tidak menutup atau mengunci pintu lemari.
Adapun estetika merupakan
nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni, dan pengalaman-pengalaman yang
berhubungan dengan seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan sebagai
filsafat seni dan kadang-kadang prinsip yang berhubungan dengan estetika
dinyatakan dengan keindahan.
REFERENSI
Bakker,
Anton. Ontologi dan Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan
Dasar-Dasar Kenyataan,Cet. VII: Yogyakarta:
kanisius, 1997.
Kattsoff,
Louis. Pengantar Filsafat, Cet. V; Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1992.
Mahmud,
Moh. Natsir. Epistemologi dan Studi Islam Kontemporer, Cet.I;
Makassar: 2000.
Suriasumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet.
X; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 33.
Syafii,
Inu Kencana. Pengantar Filsafat, Cet.
I; Bandung: Refika Aditama, 2004.
Tim
Penulis Rosdakarya, Kamus Filsafat, Cet.
I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar