Pengertian Kebenaran
Benar adalah sesuatu yang apa adanya atau sesuai kenyataan yang ada, sebuah
fakta tentang realita berdasarkan data-data yang ada. Sedangkan “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang
kongkret maupun abstrak.
Menurut Randall & Bucher kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan
kenyataan. Kemudian menurut Jujun S. Suriasumantri kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu. Contoh, ketika kita mengakui kebenaran
sebuah proposisi bahwa bumi bergerak
mengelilingi matahari, dasar kita, tidak lain adalah sesuai tidaknya proposisi tersebut dengan kenyataannya. Setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki
persepsi dan pengertian yang berbeda-beda satu
dengan lainnya tentang kebenaran, karena kebenaran
tidak bisa dilepaskan dari makna yang dikandung dalam suatu pernyataan. Berarti kebenaran berkaitan erat dengan kualitas,
sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai
kebenaran itu sendiri, dan dalam proses penilaian
kebenaran tak jarang penilaian tersebut juga tergantung dari latar belakang pandangan atau ideologi setiap orang yang karena
sebab inilah kebenaran jadi terasa relatif dan
jauh dari kepastian atau kebenaran mutlak, yang tak
dipungkiri hal ini sering menggiring kita pada keraguan atau kebingungan.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan
adalah untuk mencapai atau mencari kebenaran, namun masalahnya tidak hanya
sampai disitu saja, masalah kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan
berkembangnya epistemologi, kajian epistemologi untuk menilai suatu “kebenaran”
membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, kebenaran semantis. Bakhtiar (2010, h. 111) menjelaskan bahwa kebenaran
epistemologis adalah yang berhubungan dengan pengetahuan manusia dan kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala
sesuatu yang ada atau diadakan kemudian kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran
yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, kali ini yang
dibahas oleh penulis dalam paper ini adalah kebenaran epistemologis karena
kebenaran yang lainnya secara tidak langsung berhubungan erat dengan kategori
kebenaran epistemologis.
Macam-Macam Teori Kebenaran
1 Teori Kebenaran
Korespondensi (Saling Bersesuaian)
Kebenaran menurut teori korespondensi bahwa suatu proposisi atau pengertian
adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Kebenaran adalah yang
bersesuaian dengan fakta yang berselaras dengan
realitas yang serasi dengan situasi aktual (Bakhtiar, 2010, h. 112).
Dengan demikian menurut teori korespondensi ini,
Bakhtiar (2010, h. 113) menjelaskan bahwa kebenaran dapat didefinisikan sebagai
kesetiaan pada realitas objektif yaitu suatu pernyataan yang sesuai dengan
fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi kebenaran ialah persesuaian
antara pernyataan mengenai fakta dengan fakta aktual atau antara putusan dengan
situasi seputar yang diberi interpretasi.
Mengenai teori konsistensi ini, Bakhtiar (2010, h.
117) menjelaskan bahwa dapat kita ambil kesimpulan yang pertama, kebenaran
menurut teori ini ialah kesesuaian anatra suatu pernyataan dengan pernyataan
lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Kedua,
teori ini agaknya dapat dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang
kebenaran, karena menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila
mendapat penyaksian penyaksian (justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan
lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima, dan diakui benarnya.
Dengan
demikian menurut teori koherensi adalah suatu teori itu dianggap benar apabila
tahan uji (testable) artinya suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang
kemudian teori tersebut diuji oleh orang lain tentunya dengan mengkomparasikan dengan
data-data baru, oleh karena itu apabila teori itu bertentangan dengan data-data
yang baru secara otomatis teori pertama gugur atau batal “refutability”
sebaliknya, kalau data itu cocok dengan teori lama, teori itu semakin kuat “corroboration”
(Karl Popper dalam Bakhtiar, 2010 h. 118).
2 Teori Kebenaran
Pragmatis
Pragma artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan
bagi filsafat yang dikembangkan oleh William james di Amerika Serikat, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata
bergantung kepada asas manfaat sesuatu dianggap
benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat (Bakhtiar, 2010, h.
118-119). Istilah pragmatisme ini sendiri
diangkat pada tahun 1856 oleh Charles Pierce (1839- 1914), Bakhtiar (2010, h. 119) mengatakan bahwa doktrin
pragmatisme ini diangkat dalam sebuah makalah yang
dimunculkan pada tahun 1878 dengan tema “How To
Make Our Ideas Clear” yang kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat Amerika. Diantara tokohnya yang lain adalah
John Dewey (1859- 1952).
Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional atau bermanfaat dalam kehidupan manusia. Bakhtiar (2010, h. 119)
Menjelaskan bahwa teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila hal tersebut
membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila hal tersebut berlaku dalam
praktik, apabila hal tersebut mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh
kegunaanya oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya jadi kebenaran ialah
apasaja yang berlaku (works)
Dapat dipahami bahwa kebenaran dalam pandangan
pragmatisme adalah sebatas kegunaan praktis dalam kehidupan. Apabila suatu
proposisi memiliki kegunaan praktis maka akan dipandang sebagai suatu
kebenaran. Sebaliknya, apabila proposisi tidak memiliki kegunaan praktis maka
tidak dipandang sebagai suatu kebenaran, walaupun ada kemungkinan sesuatu yang
tidak bersifat fungsional tersebut adalah kebenaran yang sesungguhnya.
Dari teori ini dapat diberikan sebuah contoh
pandangan para penganut teori pragmatis tentang Tuhan. Bagi pragmatisme suatu
agama itu bukan benar karena Tuhan yang disembah oleh penganut agama itu memang
ada, tetapi agama itu dianggap benar karena pengaruhnya yang positif atas
kehidupan manusia. Berkat kepercayaan orang akan Tuhan dan mengikutinya
seseorang kepada ajaran agama maka kehidupan masyarakat berlaku secara tertib,,
sejahtera dan jiwanya semakin tenang.
Kebenaran dalam pandangan pragmatisme seiring
berjalannya waktu akan membawa kebenaran pada masa kadaluarsa (expired).
Artinya ada masanya kebenaran yang sudah dianggap suatu kebenaran akan dibuang,
karena tidak lagi bersifat fungsional atau bermanfaat.
3 Agama Sebagai
Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah melalui agama (Bakhtiar, 2010, h 121). Agama dengan karekteristiknya sendiri memberikan jawaban atau pencerahan
atas segala persoalan mendasar yang
dipertanyakan manusia baik tentang alam manusia maupun
tentang Tuhan yang disembahnya. Kalau teori-teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio dan reason
manusia, dalam agama untuk menilai sebuah
kebenaran yang dikedepankan adalah wahyu yang ada
di kitab sucinya dan yang diyakini bersumber dari Tuhan, Dengan demikian
suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan
ajaran agama atau wahyu sebagai penentu
kebenaran mutlak (Bakhtiar, 2010, h. 22).
REFERENSIE
Bakhtiar,
Amsal. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta:Rajawali Pers.
Wiramihardja,
Sutardjo. (2007) Pengantar Filsafat. Bandung:Refika Aditama.
Suriasumantri, Jujun S.
(2010). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Surajiyo.
(2000). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: IISIP Jakarta.
Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. (2010). Filsafat Ilmu:Sebagai
Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar